Magelang, Jatengnews.id – Masyarakat Adat Nusantara (MATRA) bersama keturunan pangeran Diponegoro menggelar kirab Umbul Donga di wilayah Kecamatan Brobudur Kabupaten Magelang.
Ritual Suran Haul Pepunden (leluhur) Borobudur diawali dengan kirab oleh Mangkualam, Masyarakat Adat Brayat Ageng Sentono, MATRA, Dipanegaran, Brayat Senja Kadang dan pelaku seni budaya Omah Mbudur dan warga masyarakat setempat.
Baca juga : Pemkab Magelang Dampingi Korban Pelecehan Seksual di Ponpes Tempuran
Mereka berjalan kaki dari Omah Mbudur ke makam leluhur yakni Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo dan Eyang Suro Dikoro desa Jowahan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang.
Budayawan MATRA Brayat Senja Kadang Omah Mbudur Nuryanto mengatakan, prosesi itu sebagai Puja Bakti (ziarah) ini kepada leluhur Eyang Suro Dipo yang bertepatan pada bulan Suro Penanggalan Jawa dan Kemerdekaan Republik Indonesia,
Dalam sejarah, Imbuh Nuryanto, Eyang Suro Dipo merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur saat agresi melawan belanda. Saat itu, darahnya tercecer dan dikumpulkan dengan daun pohon awar awar yang kemudian turut dimakamkan bersama jasad beliau di Jowahan. Sehingga Eyang Suro Dipo juga dijuluki Kyai Jugil Awar Awar
“Ini tanda bukti bahwa kita mencintai para leluhur, para pendahulu para pejuang yang rela berkorban (luntah ludiro) untuk kemerdeaan Bangsa Indonesia,” kata Nuryanto dikutip dari laman resmi Pemkab Magelang Senin (12/08/2024).
Lirih lantunan langgam Jawa mengiringi kirab sejauh satu kilometer tersebut. Dalam gelar budaya yang dihadiri Bunda Gusti Angling Kusumo Mangkualaman ini semua peserta menggenakan pakaian jawa, lurik, sorjan, dan kebaya. KGRAA Mangku Alam Al-Haj merupakan pendiri Masyarakat Adat Nusantara atau MATRA yakni sebuah gerakan bersama dalam upaya pelestarian budaya tradisi nusantara.
Sementara itu di lokasi makam pepunden, digelar prosesi kidung Puja Bakti dan Umbul Donga yakni membacakan doa dengan khidmat bersama asap wewangian. Doa puja dipimpin sesepuh desa yang di ikuti semua warga Matra.
Dijelaskan Nuryanto, keberadaan Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo dan Eyang Suro Dikoro, menjadi rangkaian sejarah yang sempat terlupakan. Dimana setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda di Residen Kedu yang kini menjadi Kantor Bakorwil Kota Magelang semua garis keturunan tidak ada lagi memakai nama Dipo karena akan diburu oleh Belanda. Sehingga para pejuang memilih mengganti nama seperti Suro Dipo Suro Dikoro dan lainnya.
Dikatan Nuryanto, rencananya ritual ini akan menjadi kegiatan rutin di Bulan Suro baik skala besar maupun sederhana sebagai upaya melestarikan tradisi untuk memberikan manfaat, manfaati untuk semua.
“Kita coba untuk tetap melestarikan tradisi ini yang namanya ‘mikul duwur mendem jero’ sebagai wujud rasa hormat kepada leluhur dan orang lain,” jelasnya.
Putusnya rantai sejarah keturunan Pangeran Diponegoro itu juga di jelaskan Gus Farid Dipanegaran, salah satu keturunan Pangeran Diponegoro yang tinggal di wilayah Borobudur.
Menurutnya, sekitar 600 jiwa keturunan Eyang Pangeran Diponegoro hingga saat ini tersebar di wilayah Magelang, khususnya di wilayah Borobudur. Saat jaman peperangan Jawa Pangeran Diponegoro memiliki istri di Borobudur dengan keturunan putro wayah Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Dipo. Kemudian seiring perkembangan jaman putra keturunan Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Dipo banyak menjadi Kepala Desa/ lurah yang tersebar di wilayah Borobudur.
“Sangat bersyukur, berbangga hati atas inisiasi perhelatan budaya kirab Suran Pepunden oleh Omah Mbudur ini. Semoga kita mendapatkan berkah dari Tuhan dan juga bagi para leluhur,” kata Gus Farid Dipanegaran usai acara tersebut.
Baca juga : KPU Magelang Mulai Coklit Pilkada Serentak 2024
Sementara itu usai menggelar kirab, dilanjut dengan prosesi kembul bujono atau makan bersama sebagai upaya menjalin silaturahmi dalam upaya bersama melestarikan tradisi. (03)