Semarang, Jatengnews.id – Pengamat menilai dengan disahkannya RUU TNI, menjadi semakin jelas bahwa rezim Prabowo Gibran bakal menghidupkan kembali orde baru.
Pengamat politik Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Andreas Pandiangan menyampaikan, bahwa pasca Kamis (20/3/2025) kemarin pagi DPR mengesahkan RUU TNI menjadi catatan dosa besar partai.
Andreas mengaku sangat menyayangkan partai-partai yang tidak mendengarkan suara rakyatnya dan malah menyetujui kebijakan tersebut.
Baca juga: Demo Tolak RUU TNI di Semarang Massa Malah Dipukuli Polisi
“Menghidupkan kembali orde baru itu kok semakin tebal. Yang saya sesalkan adalah partai politik yang sebagian besar dari produk reformasi itu mereka justru mengiyakan,” ungkapnya kepada Jatengnews.id.
Jika melihat kondisinya, di era orde baru Pemerintah melakukan penyederhanaan partai dengan dalih efektifitas dan efisiensi melalui Sidang Umum MPR tahun 1973.
Dimasa itu, ada sembilan partai politik yang terdampak kebijakan tersebut sehingga digabung menjadi dua partai.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan gabungan dari partai NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Kemudian Partai Demokrasi Indonesia (PDI) gabungan dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, dan IPKI.
Selain hanya ada dua partai PPP dan PDI, di era itu pemerintahan dikuasai Partai Golkar. Golkar yang didominasi dari pegawai negeri sipil dan angkatan bersenjata maka mereka memiliki cengkraman hingga level desa.
“Tapi mengapa mereka (partai produk reformasi) harus menyetujui ini? Sementara banyak RUU mendesak yang dibutuhkan dan ditunggu masyarakat,” ungkapnya keheranan.
Pasalnya, munculnya ketok palu pengesahan RUU TNI tersebut yang paling berdosa adalah partai.
“Ya kita tahu ada koalisi. Tetapi kan ya jangan sampai ke sana lah. Sangat disayangkan dan yang melakukan bukan tentaranya, tapi justru partai politik,” katanya.
Sehingga Andreas menilai, partai politik ini mengkhianati amanat reformasi dimana dulu menghapuskan dwi fungsi ABRI sekarang malah dibangkitkan kembali dalam wujud RUU TNI.
Dengan disahkannya RUU TNI ini, menurutnya sebutan Indonesia sebagai negara demokrasi sudah tidak ada lagi.
“Suasana ibu sudah nggak demokratis lagi, sudah tidak aspiratif lagi. Bagaimana bisa rezim ini mengatakan mendengar masyarakat, sementara saat pembahasan RUU TNI dilakukan sedemikian tertutup, sedemikian dipaksa, bahkan suasananya mencekam,” tegasnya.
Jika melihat proses pembahasan Revisi UU TNI ini, dilakukan sangat cepat yakni hanya delapan hari di hotel Fairmont Jakarta dengan penjagaan ketat oleh aparat TNI.
“Setelah diprotes oleh teman-teman kemarin, tempatnya harus dijaga dengan alat tempur. Apa sih yang harus ditakutkan dari para aktivis ini? Mereka nggak membawa senjata. Wajar dong masuk protes,” jelasnya.
“Saya kira ini hanya kepentingan elit. Yang dibutuhkan prajurit itu kan soal kesejahteraan. Lalu mereka buruh bagaimana persenjataan dilengkapi sesuai dengan kemajuan zaman,” imbuhnya.
Melihat RUU TNI telah disahkan Kamis (20/3/2025) kemarin, artinya mulai Jumat (21/3/2025) aturan tersebut telah menjadi Undang-Undang.
Kondisi ini, tentu memunculkan kekecewaan masyarakat luas dimana pemerintah seharusnya mengayomi dan mentaati asas demokrasi namun malah mencederai.
Jika melihat dampaknya, ke depan bakal ada potensi bahwa militer menguasai kementrian-kementrian dan lembaga-lembaga bahkan di ranah sipil.
“Menurut sata ini bagian dari melengkapi sebuah skenario besar,” ujar Andreas.
Pasalnya, praktik-praktik orde baru kedepan bakal berpotensi terjadi.
“Bahkan susah kalau respon itu liar, tidak dalam satu komando itu yang jadi persoalan. Maksudnya tidak dalam satu komando. Umpamanya yang disini demo dihalau, yang disana tidak. Ini berbahaya, cara-cara yang khas orde baru,” tegasnya.
Bahkan dalam catatannya, demo Kamis (20/3/2025) kemarin, ada dua kelompok demo. Yakni, satu mendukung RUU TNI tidak mendapatkan intimidasi, sementara mereka yang menolak dipukul dan mendapat tindakan represifitas.
Baca juga: Polrestabes Semarang Lepaskan Empat Orang yang Ditangkap Saat Demo RUU TNI
Andreas mendorong kepada elemen masyarakat yang menolak RUU TNI untuk teru melayangkan protes terhadap persetujuan yang dilakukan para anggota DPR.
“Supaya tidak dilakukan meskipun disetujui, buktinya seperti Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN),” katanya.
Selain itu, dirinya juga berharap kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengingat nasib rakyatnya. Karena secara hirarki Presiden bisa memberikan solusi atas situasi ini, yakni dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
“Tinggal kemauan politiknya dia. Maka menurut saya suara untuk menolak tetap harus disampaikan,” tegasnya. (Kamal-02)