Beranda Daerah Peragaan Busana Timbulsloko: Kreativitas Warga Pesisir Lawan Rob

Peragaan Busana Timbulsloko: Kreativitas Warga Pesisir Lawan Rob

Sebuah inisiatif unik dalam mitigasi krisis iklim digelar dengan konsep peragaan busana di Desa Timbulsloko, Sayung Kabupaten Demak.

Dua orang model melakukan peragaan busana di Desa Timbulsloko, Sayung Kabupaten Demak, Minggu (17/3/2025). (Foto: dok)

Demak, Jatengnews.id – Sebuah inisiatif unik dalam mitigasi krisis iklim digelar dengan konsep peragaan busana di Desa Timbulsloko, Sayung Kabupaten Demak.

Peragaan busana unik Desa Timbulsloko ini diinisiasi oleh Komunitas Fesyen Berkelanjutan EMPU, bersama dengan berbagai organisasi dan kelompok nelayan perempuan Puspita Bahari, serta sejumlah LSM dan koalisi keadilan perikanan.

Mereka mengadakan peragaan busana bertajuk “Gerak Budaya dan Karya Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Warga Pesisir Menghadapi Krisis Iklim”, Minggu 16 Maret 2025.

Baca juga: Peragaan Busana di Timbulsloko Demak Simbol Mitigasi Krisis Iklim

Acara ini bertujuan untuk mengapresiasi upaya adaptasi warga terhadap krisis iklim sekaligus memperingati Hari Perempuan Dunia.

Perwakilan dari Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari, Masnuah, menegaskan bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan realitas yang sudah dirasakan warga pesisir, khususnya di Dukuh Timbulsloko.

“Krisis iklim bukan lagi cerita nanti atau yang akan datang, tapi cerita hari ini dan dialami banyak makhluk hidup di planet Bumi. Seperti yang dirasakan warga Dukuh Timbulsloko, dulu desa ini makmur, dengan sawah, kebun sayur, dan pohon kelapa. Namun, sawah terakhir yang dicatat di desa ini adalah pada tahun 2016,” ungkapnya kepada Jatengnews, Minggu (16/3/2025).

Pada 2019, rob mulai mengepung desa yang berjarak tiga kilometer dari garis pantai. Ketinggian air yang semula setinggi lutut kini, di tahun 2025, telah mencapai perut orang dewasa saat surut. Saat rob pasang, akses jalan yang dulunya dapat dilalui kendaraan kini hanya bisa dilewati dengan sampan. Bahkan, musala dan pemakaman pun kini terendam air.

Akibat kondisi ini, jumlah penduduk di Timbulsloko terus menurun. Dari 3.710 jiwa pada 2019, kini hanya tersisa sekitar 200 orang yang masih bertahan dengan berbagai tantangan besar.

Meski hidup dalam keterbatasan, warga Timbulsloko menunjukkan daya lenting luar biasa dalam beradaptasi. Mereka membangun jalan panggung dengan bambu dan kayu limbah Bengkirai untuk tetap dapat beraktivitas. Masjid dan rumah yang telah tenggelam pun diubah menjadi lantai geladak agar lebih mudah dan murah untuk ditinggikan.

Namun, bertahan bukanlah pilihan utama bagi warga. Opsi relokasi yang ditawarkan pemerintah dianggap tidak kondusif dan tidak cukup mendukung kehidupan mereka.

“Bantuan pemerintah daerah bagi warga sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per keluarga tidak cukup untuk pindah. Kami bertahan bukan karena tidak ingin pergi, tapi karena tidak punya pilihan lain,” jelas Masnuah.

Selain itu, para nelayan menghadapi kendala besar karena area tangkap mereka dipagari dan harus membayar sewa. Nelayan perempuan juga menghadapi diskriminasi dalam mengakses bantuan karena profesi mereka belum diakui secara resmi.

Inisiatif warga dalam beradaptasi seharusnya menjadi bahan pembelajaran dalam mengelola kawasan pesisir. Penyelesaian masalah rob tidak harus selalu berupa proyek infrastruktur raksasa seperti tanggul laut.

Sebaliknya, pengalaman dan kearifan lokal warga yang telah puluhan tahun hidup di pesisir harus dipertimbangkan dalam pembangunan wilayah pesisir yang lebih berkelanjutan.

Sebagai simbol harapan dan perjuangan menghadapi krisis iklim, acara ini menampilkan 20 karya fesyen ramah lingkungan dari Komunitas EMPU dan Omah Petruk.

Salah satu panitia sekaligus peraga busana, Leya Cattleya, menyatakan bahwa fesyen berbasis tekstil serat alam dan pewarna alami ini sebagai bentuk semangat warga Timbulsloko untuk terus bertahan dan mencari solusi bagi masa depan yang lebih baik.

“Peragaan busana ini tidak sekadar menampilkan keindahan, tapi juga membawa pesan penting tentang ketahanan warga pesisir menghadapi perubahan iklim. Karya-karya ini dibuat dengan bahan yang ramah lingkungan dan mengandung harapan untuk masa depan yang lebih baik,” ujar Leya.

Acara ini juga melibatkan berbagai komunitas fesyen berkelanjutan seperti Patanning. co (Sumba Timur), Zie Batik (Semarang), Moncer Art (Sragen), Mlati Wangi (Semarang), Rhabag Semarang, YC Aurart (Jakarta), Lucy Chan, Swarna Bumi Ecoprint (Nganjuk), Susi Shibori, Sora Shibori, Nine Penenun Lombok Timur, Collabox Creative Hub (Semarang), serta Batik Demakan.

Tidak hanya sekadar peragaan busana, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan tarian perempuan pesisir. Model yang tampil terdiri dari ibu-ibu nelayan, petani, aktivis organisasi perempuan, hingga model profesional dari jejaring Komunitas EMPU.

Baca juga: Gandeng Desainer Indonesia, DWP KJRI Dubai Gelar Peragaan Busana Batik

Lebih dari sekadar ajang seni dan budaya, peragaan busana ini juga sebagai bentuk ajakan kepada berbagai pihak—baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil—untuk lebih serius dalam menangani dampak krisis iklim.

Refleksi dan aksi berbasis keberlanjutan sangat dibutuhkan agar warga pesisir tidak kehilangan harapan dan tetap memiliki masa depan yang lebih baik.

“Peragaan busana ini adalah gerakan budaya yang mengajak semua pihak untuk berkomitmen dalam mitigasi krisis iklim. Kita harus mengambil langkah nyata, bukan hanya bicara, agar lingkungan tetap terjaga dan masyarakat pesisir punya masa depan yang lebih cerah,” pungkas Leya. (Sam-01)

Exit mobile version