Beranda Daerah Peragaan Busana di Timbulsloko Demak Simbol Mitigasi Krisis Iklim

Peragaan Busana di Timbulsloko Demak Simbol Mitigasi Krisis Iklim

Warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, terus berjuang menghadapi dampak krisis iklim yang semakin nyata.

Warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung Demak adakan peragaan busana. (Foto: dok)

Demak, Jatengnews.id – Warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, terus berjuang menghadapi dampak krisis iklim yang semakin nyata.

Desa Timbulsloko Demak yang dulunya makmur dengan lahan pertanian subur kini terendam air laut, memaksa warganya untuk beradaptasi dengan kondisi yang semakin sulit.

Sebagai bentuk pengakuan terhadap daya lenting masyarakat pesisir dalam menghadapi krisis ini, digelar peragaan busana ramah lingkungan bertajuk “Gerak Budaya dan Karya Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Warga Pesisir menghadapi Krisis Iklim”.

Baca juga: Bupati Demak Beri Bantuan Korban Banjir Mranggen – Sayung

Dahulu, Desa Timbulsloko merupakan kawasan yang kaya akan hasil bumi. Namun, sejak tahun 2019, air laut mulai mengepung pemukiman, menyebabkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat.

Pada tahun 2025 ini, kondisi semakin parah. Air laut yang menggenang telah mencapai batas perut orang dewasa saat surut, bahkan saat rob tinggi, satu-satunya akses mobilitas adalah dengan sampan.

Menurut data Mongabay.co.id, pada tahun 2019, jumlah penduduk di Timbulsloko mencapai 3.710 jiwa. Namun, akibat semakin sulitnya kehidupan, kini hanya tersisa sekitar 200 orang dengan 80 kepala keluarga yang bertahan.

Perwakilan dari Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari, Masnuah, mengungkapkan bahwa banyak warga yang sebenarnya ingin pindah, tetapi tak memiliki cukup biaya.

“Kami bertahan bukan karena ingin, tetapi karena tidak punya pilihan. Bantuan dari pemerintah tidak cukup untuk memindahkan seluruh keluarga ke tempat yang lebih layak,” ujarnya, Jumat (14/3/2025).

Warga pun berusaha bertahan dengan berbagai cara. Mereka membangun jalan panggung dari bambu dan limbah kayu sebagai jalur mobilitas, serta meninggikan rumah dan masjid dengan memanfaatkan struktur lama.

“Kami harus kreatif untuk tetap hidup di sini. Dengan cara ini, setidaknya kami masih bisa beraktivitas meskipun lingkungan kami sudah dikepung air,” tambah seorang warga.

Namun, permasalahan lain pun muncul. Banyak nelayan kesulitan mencari nafkah karena wilayah tangkap diberi pagar dan mereka harus membayar sewa. Selain itu, nelayan perempuan juga masih sulit mendapatkan akses bantuan dari pemerintah.

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan warga dan untuk memperingati Hari Perempuan Dunia, Komunitas Fesyen Berkelanjutan EMPU bersama berbagai organisasi seperti Puspita Bahari, Barapuan, YLBHI-LBH Semarang, KIARA, PPNI, dan LBH APIK mengadakan peragaan busana berkonsep ramah lingkungan.

Acara ini menampilkan 20 karya dari Komunitas EMPU serta fesyen berbasis serat alam dari berbagai artisan seperti Patanning.co (Sumba Timur), Zie Batik (Semarang), Moncer Art (Sragen), dan Swarna Bumi Ecoprint (Nganjuk). Model yang berjalan di atas catwalk bukan hanya profesional, tetapi juga ibu-ibu nelayan dan petani, serta aktivis perempuan.

Baca juga: Warga Sayung Pasang Spanduk Bentuk Protes Penanganan Banjir Demak

Menurut penyelenggara, peragaan busana ini bukan hanya ajang seni, tetapi juga bentuk kampanye penting.

“Kami ingin menunjukkan bahwa upaya adaptasi krisis iklim bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melalui seni dan budaya. Warga Timbulsloko telah berjuang bertahun-tahun, dan ini adalah bentuk dukungan serta pengakuan terhadap mereka,” ujar Leya Cattleya, salah satu penyelenggara acara.

Lebih dari sekadar peragaan busana, acara yang akan berlangsung di Desa Tenggelam Timbulsloko pada Sabtu, 15 Maret 2025 pukul 08.00-10.00 WIB ini juga menjadi gerakan budaya untuk menyuarakan perlunya mitigasi krisis iklim yang lebih bijak dan berkelanjutan. (Sam-01).

Exit mobile version