Beranda Daerah Kisah Perjuangan Nelayan Semarang Mengais Rezeki di Darat

Kisah Perjuangan Nelayan Semarang Mengais Rezeki di Darat

Pria berdarah nelayan, Abdul Jamal warga Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. (Foto:Kamal)

Semarang, Jatengnews.id – Lagu nenek moyangku seorang pelaut, memang bukan isapan jempol saja, hal itu dibenarkan oleh seorang pria darah nelayan asal Kecamatan Tugu, Semarang.

Pria tersebut bernama Abdul Jamal warga Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Pada masa kecilnya dulu sekitar tahun 1980 an, wilayah yang hari ini akrab disebut 3M (Mangkang Kulon, Mangkang Wetan dan Mangunharjo) merupakan lumbung ekonomi masyarakat.

Baca juga : Video Cerita Nelayan Tambaklorok Semarang Saat Cuaca Ekstrem

Berdasarkan ceritanya, masa itu menjadi era keemasan dimana para nelayan dan pengusaha tambak tidak bingung lagi untuk persoalan keuangan.

“Dulu itu masyarakat disini hobinya berkuda, sementara jika melihat hobi tersebut sudah jelas seperti apa strata ekonominya,” ungkapnya kepada Jatengnews.id, Sabtu (8/2/2025).

Masa kejayaan tersebut, kini tinggal cerita dan sudah tidak bisa ia rasakan kembali karena wilayah 3M menjadi daerah mangkok atau cekungan langganan banjir.

Pada tahun 1990 an, ia mengingat dimana masih tinggal di wilayah Mangkang Wetan, masa itu mulai terjadi abrasi dan beberapa garis pantai mulai terkikis.

“Tahun 1990 an abrasi mulai ada, saya masih SMP. Saya mengalami betul bahwa air laut mulai masuk tambak. Lambat laun tambak hilang,” kisahnya saat ditemui di rumahnya.

Wilayah tambak yang dulu jaya digarap sendiri oleh masyarakat sekitar, kini sudah menjadi laut atau yang akrab disebut dengan tanah musnah.

“Mulai saat itu masyarakat kurang produktif, tambak sebagian sudah kena laut dan memang sebagian sudah dibeli lahannya, kurun waktu sekitar 35 tahun,” ucapnya.

Ia mengaku, sempat merantau ke daerah Batam untuk mencari modal, saat dirinya pulang sekitar tahun 2000 an, ternyata situasi ekosistem laut yang diidam-idamkan untuk melaut atau melakukan budidaya di tambak sudah tidak sebaik dulu.

“Saya itu tujuh kali tanam benih udang di tambak, tujuh kali itu juga saya gagal panen. Padahal di masa sebelum saya merantau budidaya ini menjadi salah satu peluang besar untuk mengais rejeki,” ungkapnya.

Ia yang berdarah nelayan, tentunya ingin melanjutkan perjuangan pendahulunya meskipun tidak melaut atau dengan budidaya di tambak.

Singkatnya, diri mulai sadar dan perlu berkembang dan mulai belajar untuk berusaha di darat. “Sekitar tahun 2008 – 2009 saya meskipun sudah tua, dikuliahkan oleh istri saya supaya bisa mendapatkan pandangan baru dan tidak terpaku dengan laut,” ujarnya.

Menurutnya, orang yang berdarah nelayan tentu memiliki jiwa yang berbeda dengan orang yang bisa bekerja di darat.

Mereka kebanyakan, secara pendidikannya terhitung minim karena sudah pernah merasakan enaknya mencari rezeki di laut tanpa harus memerlukan pendidikan yang tinggi seperti para masyarakat yang berjuang di daerah non pesisir.

Melihat situasi tersebut, dirinya mengaku prihatin dengan kondisi nelayan sekarang. Alasan dirinya mulai memikirkan pendidikan, karena memang sudah tidak memungkin jika terus bergelut di laut mengingat ruangnya mulai terhimpit dari mulai isu reklamasi hingga bencana banjir dan rob yang terus menghantui.

Setelan dirinya lulus dari salah satu kampus swasta di Kota Semarang, ia mulai belajar bertahan hidup dengan iklim darat atau tidak menggantungkan dirinya pada laut.

“Saya pernah menjadi pendidik (guru) setelah lulus tahun 2012 hingga 2017,” ujarnya.

Di masa itu, ia mulai memikirkan bagaimana supaya bisa bertahan di darat meskipun tinggalnya masih di wilayah Mangkang Kulon.

“Akhirnya sekarang saya dan istri belajar menjahit, bikin es batu, ini juga bikin kerupuk berbahan udang, rajungan serta hasil tangkapan laut lainnya,” tuturnya.

“Jika melihat krupuk saya ini memang masih menyisakan darah nelayan saya,” imbuhnya.

Proses untuk beralih profesi ini, tentunya bukan suatu hal yang mudah ia lalui. “Dari tahun 2017 itu saya mulai meramu krupuk ini. Awalnya berdarah-darah ini. Hingga sekarang sudah dapat PIRT hingga stempel Halal,” terangnya.

Kiranya berangkat dari cerita hidupnya, pemerintah hari ini perlu memikirkan nasib masyarakat pesisir yang kian hari tergerus zaman.

Baca juga : Pemkot Semarang Terbitkan Perwal Beasiswa Anak Petani dan Nelayan

“Teman-teman nelayan lebih enak cari duit dari pada sekolah. Sudah dan apakah tidak beban berikutnya. Saya prihatin dan rasa empati saya muncul,” katanya. (03)

Exit mobile version