Beranda Daerah Pagar Laut Terjadi di Laut Semarang dan Demak

Pagar Laut Terjadi di Laut Semarang dan Demak

Suasana pesisir dan atau pinggiran laut Kota Semarang.(Foto: Walhi Jateng)

Semarang, Jatengnews.id – Geger pagar laut di Tangerang dengan dilengkapi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang baru-baru ini menggemparkan, ternyata praktik HGB di laut juga terjadi di laut Semarang dan Demak.

Aliansi Rakyat Miskin Semarang – Demak (ARMSD) yang tergabung dari enam kampung yang ada di Kota Semarang (empat kampung) dan Kabupaten Demak (dua kampung) menyuarakan bahwa persoalan HGB laut juga terjadi di daerahnya.

Koordinator ARMSD, Ahmad Marzuki menceritakan, bahwa praktik pagar laut dengan dilengkapi HGB, sebelumnya pernah terjadi di pesisir Kota Semarang tahun 2016 lalu.

Baca juga: Demo Warga Nyaris Ricuh, Pintu Pagar Balai Desa Munggur Dirobohkan

“Waktu itu atas nama Bandeng Raya, setelah tertutuo nelayan tidak bisa masuk. Tapi akhirnya pagar itu tak kuat terkena abrasi dan tumbang,” ungkapnya saat dihubungi awak media.

Jika melihat kasus yang ada di Tangerang yang akhirnya HGB bisa dibatalkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia, Nusron Wahid. Ia berharap, pembatalan HGB tanah dilaut yang kedepannya bakal dilakukan pengurukan atau reklamasi dan semacamnya pihaknya meminta perhatian dari pemerintah pusat.

Enam daerah yang ia bawa ini yakni dari Semarang ada di Petemesan, Tambakrejo, Kuman (Mangkang Kulon) dan Tugu. Kemudian untuk di Demak ada di Timbulsloko dan Rejosari Baru.

“Cerita HGB di laut itu di Semarang ada di daerah Tugu yang mau di reklamasi (pengurukan),” ujarnya.

Menurutnya, kepentingan-kepentingan usaha hingga Proyek Strategis Nasional seringkali mengabaikan masyarakat atau warga yang tinggal di sekitarnya.

“Warga kayak nelayan yang disitu nelayan yang disitu nasibnya kayak nggak ada yang memfikirkan gitu,” keluhnya.

Ia juga menceritakan nelayan Timbulsloko Demak dan Trimulyo Semarang yang ruang tangkap lautnya tertutup tol laut.

Pola-pola HGB tersebut muncul hampir sama, dimana-mana wilayah-wilayaj tersebut dahulunya merupakan lahan sawah, tambak dan lainnya kemudian terdampak abrasi.

Setelah tenggelam dan menjadi laut, lahan mereka disebut dengan tanah musnah dan dibeli dengan harga sangat murah.

Namun, siapa sangka bahwa daerah-daerah tersebut kedepannya bakal dijadikan lokasi usaha dengan cara penanggulan hingga pengurukan.

“HGB yang sampai hari ini memunculkan pola-pola pembangunan, membayangi kita bahwa kedepan itu akhirnya memarginalkan atau menggusur kita,” pekiknya.

Pengamat Lingkung dan Tata Kelola Kota dari Unnisula, Mila Karmila menyampaikan, bahwa praktik HGB atau Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah laut memang sudah terjadi.

Dirinya juga menyampaikan, muncul fenomena dimana lahan dibeli murah dan para nelayan diperbolehkan menggunakan lahan tersebut dengan sistem sewa.

“Hal seperti ini jangka panjangnya mereka tidak mempunyai akses laut,” ungkapnya.

“Para investor ini untungnya dua kali ya, utama pada saat kondisi dibeli dalam kondisi perairan itukan murah ya, harganya murah lah. Nanti saat dikeringkan harganya meningkat,” paparnya.

Menurutnya, kejadian di Semarang dan Tangerang ini hanya berbeda bentuk saja atau bukan dengan langsung muncul pagar laut.

“Kalau disini dengan mengakui sisi mengambil mensertifikatkan laut untuk kepentingan seperti reklamasi, dijual di beberala orang kemudian di timbulsloko itu dijuak ke beberapa orang itu sudah jelas,” ungkapnya.

Menurutnya, praktik di Semarang memang lebih halus tapi merugikan kepada para nelayan. “Sebenarnya itu merugikan nelayan, ini yang ditakutkan,” ucapnya.

Dirinya juga menjelaskan, bagaimana nasib tanah yang komdisi tenggelam, statusnya tanah musnah dan tidak bisa dijual sesuai sertifikat.

“Dulu tanah musnah hanya menggunakan undang-undang ke rohiman. Tapi dengan adanya Undang-Undang atau Perpres atau regulasi ya g baru dari kementrian ATR bahwa itu bisa diklaim tanag milik masyarakat kembali itu yang kita dorong,”ungkapnya.

Baca juga: Tanggul Laut Kota Semarang Direncanakan Selesai Agustus 2024

Kiranya, jika mengacu pada regulasi tersebut, masyarakat bisa mengklaim kembali hak atas tanahnya atau hak atas ruang hidupnya di laut.

Kiranya, persoalan ini perlu adanya duduk bersama antara Kementrian ATR BPN dan Kementrian Kelautan untuk membahas persoalan ini.

“Sehingga mereka harus duduk bareng kemudian mengetahui dan bagaimana sebenarnya regulasi yang sudah dibuat untuk menegakan aturan baik di darat atau di laut,” tegasnya. (Kamal-02)

Exit mobile version