Ekspor pasir laut di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru dilakukan. Ekspor komoditas ini sudah dilakukan sebelumnya pada saat kepemimpinan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto. Kegiatan ekspor ini paling banyak dilakukan ke negara Singapura yang pada saat itu sedang melakukan proyek reklamasi pulau.
Pada saat itu, volume ekspor pasir laut ke negara tersebut mencapai sekitar 250 juta meter kubik per tahun dengan harga 1,3 dollar per meter kubik. Dikarenakan ekspor pasir laut, Singapura berhasil memperluas wilayahnya dari 578 km persegi saat sebelum merdeka menjadi 736,6 km persegi pada bulan Juni tahun ini.
Dari rutinnya Singapura mengimpor pasir laut Indonesia, kita bisa lihat bagaimana ketergantungannya negara tersebut pada impor pasir laut. Hal ini pastinya membawa dampak dari sisi ekonomi dan lingkungan. Di satu sisi, terbukanya peluang ekonomi bagi negara-negara eksportir seperti Indonesia, tapi di sisi lain, permintaan yang besar dari Singapura dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam ini tentunya ujungnya akan berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama di negara-negara pemasok.
Dikarenakan maraknya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ekspor pasir laut, pada tahun 2002, presiden Megawati menerbitkan Inpres No. 2 tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. Kebijakan ini disusul dengan terbitnya Keppres No. 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang isinya memberhentikan kegiatan penambangan pasir dan ekspor pasir laut.
Meskipun kegiatan ekspor ini telah diberhentikan, kebijakan ekspor pasir ini kembali diberlakukan pada tahun 2023. Pada bulan Mei 2023 yang lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Adapun untuk izin dibukanya ekspor sedimen pasir laut ini tertuang dalam Pasal 9 di PP yang sama, yaitu sepanjang kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Lalu pada tahun 2024, pemerintah pun resmi membuka ekspor sedimen pasir dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 1 tahun 2024. Dengan diterbitkannya Permendag ini tentunya menunjukkan ketidak konsistennya pemerintah dalam membuat kebijakan ini.
Membuntuti dibukanya ekspor pasir laut setelah lebih dari dua dekade, kebijakan bea keluar atas ekspor pasir laut tentunya juga akan kembali diberlakukan. Bea Keluar adalah pungutan negara terhadap barang – barang atas kegiatan ekspor. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menuturkan bahwa Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sedang mengkaji besaran bea keluar yang akan dikenakan dan bagaimana mekanisme pengenaannya. Hal ini dikarenakan menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, pengaturan mengenai bea keluar di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 38 tahun 2024 belum mengakomodasi untuk bea keluar pada ekspor pasir laut yang baru dijalankan.
Sejumlah kementerian pun sudah melakukan pertemuan pada 24 September 2024 yang lalu untuk membahas mengenai besaran tarif bea keluar yang akan dikenakan pada ekspor ini. Dalam pertemuan tersebut terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah besaran tarif. Pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengusulkan agar ekspor sedimen pasir laut dikenakan tarif bea keluar sebesar 5% dari harga penetapan. Namun di lain sisi, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan berpendapat bahwa ekspor sedimen pasir laut ini layaknya dikenakan tarif bea keluar sebesar 1,5%.
Kebijakan ini memicu beragam tanggapan, baik yang mendukung maupun yang menentang. Di satu sisi, para pengusaha menyambut kebijakan ini dengan antusias. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan bahwa sudah ada 66 perusahaan yang mengajukan permohonan ekspor pasir laut, dan saat ini dokumen-dokumen persyaratan mereka sedang dalam proses verifikasi oleh pihak pemerintah yang berwenang. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai kritik tajam dari sejumlah pakar dan aktivis lingkungan, yang khawatir bahwa pembukaan keran ekspor pasir laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.
Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, berdalih bahwa aturan-aturan yang disebutkan tidak merujuk pada ekspor pasir laut secara umum, melainkan pada sedimen yang mengganggu jalur pelayaran kapal. Selain itu, ketentuan ekspor pasir laut tersebut tidak berlaku untuk semua jenis pasir laut, melainkan hanya untuk jenis tertentu yang telah memenuhi spesifikasi tertentu. Ketentuan ini diatur dalam Permendag 21/2024 yang mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 47/2024 mengenai Spesifikasi Pasir Hasil Sedimentasi di Laut untuk keperluan ekspor.
Pembukaan kembali izin ekspor pasir laut mencerminkan upaya pemerintah untuk menciptakan peluang ekonomi, dengan harapan langkah ini dapat meningkatkan pendapatan negara serta mendukung sektor usaha. Namun, jika ditinjau lebih mendalam, manfaat ekonomi yang dihasilkan tampaknya tidak sebanding dengan potensi kerugian lingkungan yang ditimbulkan, seperti erosi pantai, kerusakan terumbu karang, hingga hilangnya keanekaragaman hayati di ekosistem laut.
Pemerintah pun seakan melupakan sejarah bahwa negara mengalami kerugian akibat adanya ekspor pasir pada tahun – tahun yang lalu. Terdapat kerugian negara yang tak main-main akibat adanya ekspor pasir ilegal yang tak membayar pajak dan royalti, yaitu diperkirakan sebesar Rp2 triliun per tahun. Kerugian tersebut merupakan jumlah perkiraan yang paling minim karena dilansir dari tempo.com, terdapat lebih dari 20 unit pengeruk pasir yang beroperasi. Selain itu, terdapat banyaknya kapal illegal yang mencuri pasir di Indonesia disebabkan salah satunya adalah kurang tegasnya pemerintah.
Dampak terhadap lingkungan
Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, menuturkan bahwa dibukanya ekspor pasir laut untuk tujuan mempermudah pengendalian hasil sedimentasi laut. Namun, alasan pemerintah untuk membuka kembali ekspor pasir laut ini tidak sejalan dengan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan ekspor ini. Pasir laut adalah salah satu sumber daya alam non-hayati yang memiliki potensi sebagai sumber pendapatan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pasir laut juga memiliki berbagai manfaat, seperti digunakan dalam konstruksi bangunan dan pembangunan jalan, penambangan pasir laut juga menghasilkan bijih besi sebagai produk sampingan. Dibukanya kembali ekspor pasir laut tentunya menimbulkan beberapa risiko yang cukup besar, khususnya pada ekosistem laut.
Dampak tersebut mulai dari erosi pantai, banjir, penumpukan endapan, penurunan produktivitas perikanan, hingga hilangnya beberapa pulau kecil. Pengerukkan pasir ini akan membuat pulau-pulau khususnya pulau kecil akan lebih cepat tenggelam.
Tenggelamnya pulau di Indonesia pernah terjadi pada saat pemerintahan presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2007 silam. Pada saat itu, Pulau Nipah dan Pulau Sebatik hampir tenggelam dikarenakan adanya aktivitas pengerukkan pasir dan abrasi. Menindak lanjuti hampir tenggelamnya pulau tersebut, pemerintah secara tegas menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk diantaranya memberhentikan ekspor pasir laut dan memberhentikan pengerukan pasir laut.
Dampak terhadap warga sekitar
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menunjukkan langkah penting pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Meski demikian, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada aspek lingkungan, tetapi juga membawa pengaruh signifikan terhadap berbagai sektor dan masyarakat.
Wilayah pesisir memiliki peran penting bagi berbagai aktivitas manusia, seperti pemukiman, tambak budidaya, rekreasi, dan transportasi. Dengan meningkatnya permintaan dan persaingan dalam penggunaan lahan di kawasan ini, pengambilan keputusan untuk memanfaatkan sumber daya lahan yang terbatas perlu dilakukan secara bijak. Hal ini mencakup upaya untuk memaksimalkan manfaat yang diperoleh serta menerapkan langkah-langkah konservasi demi keberlanjutan di masa depan.
Pengambilan 17,6 meter kubik sedimen di tujuh lokasi yang sudah ditetapkan akan berdampak pada arus dan gelombang karena berubahnya kontur laut. Pada akhirnya, daratan lah yang terkena dampaknya. Pulau – pulau akan makin ringkih menghadapi abrasi dan masyarakat yang akan terkena dampaknya karena rusaknya wilayah tangkap ikan.
Namun, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemanfaatan sedimen pasir yang mengganggu jalur pelayaran kapal untuk mengatasi masalah abrasi di daerah atau pulau dalam negeri, seperti di pesisir Pantura. Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 bahkan menyebutkan bahwa ekspor sedimen pasir hanya boleh dilakukan jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Namun, faktanya masih banyak wilayah di Indonesia yang terkena abrasi, seperti pesisir Pantura. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji dan mengevaluasi ulang urgensi ekspor sedimen pasir ini, terutama mengingat dampak negatifnya yang lebih besar dibandingkan manfaat positifnya.
Untuk itu, dalam penerapan ekspor komoditas ini, pemerintah harus melakukan kajian ulang terus menerus mengenai teknis dari ekspor ini untuk meminimalkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan. Selain itu, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan pengenaan tarif bea keluar yang sesuai untuk mengontrol eksploitasi sumber daya ini sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Pengawasan dalam jalannya ekspor komoditas ini pun harus dilakukan secara rutin untuk mencegah adanya ekspor ilegal untuk memastikan kegiatan ekspor berjalan sesuai aturan.
Penulis : Ivana Sofia Angi (Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)