Belakangan ini, sedang ramai diperbincangkan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di tahun 2025, yang berimbas pada kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok. Tentunya hal tersebut menuai pro dan kontra, khususnya bagi para pelaku industri tembakau di tengah melemahnya daya beli masyarakat saat ini.
Adanya beberapa penerapan kebijakan baru juga mencekik para pelaku industri tembakau, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang memuat beberapa peraturan baru mengenai industri rokok.
Selain itu, adanya rencana penyeragaman kemasan rokok menjadi polos dan tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan juga menuai kontroversi, merek yang berfungsi sebagai pembeda produk, dengan adanya kebijakan ini semakin menyulitkan para pelaku usaha industri rokok untuk bersaing dan meningkatkan pendapatannya.
CHT merupakan jenis barang yang dikenakan cukai dari hasil tembakau, adapun contoh dari CHT seperti rokok dan rokok elektrik. Adanya regulasi menaikkan tarif CHT tentunya bukan datang tanpa alasan, rokok menjadi salah satu olahan tembakau yang memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan serta tingginya tingkat konsumsi di kalangan anak-anak dan remaja (Komwasjak, 2022). Dilansir dari Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan mencatat jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 500 ribu diantaranya merupakan perokok yang berusia 10-18 tahun (Redaksi Sehat Negeriku, 2024).
Hal ini tentunya sangat miris, di usia 10-18 tahun yang merupakan usia emas, namun sudah terpapar bahaya dalam kandungan rokok yang akan berefek 10-20 tahun kedepan. Data dari World Health Organization (WHO), menunjukkan pada tahun 2020, Indonesia menduduki posisi ketiga dengan jumlah kasus kanker paru-paru terbanyak di dunia dengan jumlah 34.783 kasus atau 8,8% dari total kasus kanker paru-paru di dunia (Kurniyanto, 2022).
CHT hadir untuk menekan eksternalitas negatif yang timbul dari konsumsi rokok melalui penekanan volume konsumsinya. Selain sebagai sarana menekan eksternalitas negatif yang timbul, kenaikan CHT juga dapat menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang dibuktikan dari adanya pertumbuhan penerimaan cukai pada PDB 2024.
Menilik kontribusi cukai pada PDB, dilansir dari Informasi APBN Tahun Anggaran 2024, dari akumulasi penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp321,0 triliun. Cukai berkontribusi sebesar 76,7% dari total penerimaan yaitu sebesar Rp246,1 triliun. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan penerimaan cukai apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hal ini tentunya didukung oleh kebijakan tarif CHT dan implementasi cukai produk plastik & MBDK (Kementerian Keuangan, 2023).
Apabila kita menilik potensi penerimaan cukai yang sangat menggiurkan sebagaimana yang dipaparkan di atas. Namun, apabila kita melihat realita keadaan ekonomi saat ini, apakah dengan menaikkan tarif CHT dan HJE pada rokok menjadi langkah yang tepat?
Imbas dari kenaikan CHT tentunya akan sangat dirasakan oleh pelaku usaha industri tembakau. Kenaikan CHT akan memperbesar biaya yang dibutuhkan oleh pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, sejalan dengan kenaikan CHT berimbas akan menaikkan HJE yang kemudian dapat menurunkan daya beli masyarakat. Kenaikan tarif CHT bukanlah suatu hal yang baru, sebelumnya tarif CHT telah dinaikkan dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut dengan rerata kenaikan sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024. Diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 191 Tahun 2022.
Namun, penetapan regulasi tersebut belum serta merta efektif untuk menekan laju konsumsi pada rokok, beberapa lebih memilih untuk melakukan down trading. Down trading merupakan fenomena mengganti pola konsumsi dari yang sebelumnya produk atau layanan yang lebih mahal ke produk atau layanan yang lebih murah sebagai upaya untuk mengurangi pengeluaran. Sebagai perokok aktif, tentunya akan sulit untuk tiba-tiba mengubah perilaku konsumsi menjadi tidak merokok, oleh karena itu fenomena down trading menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Adanya fenomena ini pun tetap harus diwaspadai, karena bukan hanya mengganti konsumsi dari rokok golongan 1 yang elastis terhadap kenaikan CHT menjadi rokok golongan 2 atau 3 yang lebih ramah di kantong (Kurniati, 2024).
Selain itu, beberapa juga ada yang memilih untuk mengkonsumsi rokok ilegal yang lebih murah karena tidak dikenakan CHT dan tentunya sangat merugikan negara. Adanya isu kenaikan tarif PPN di tahun 2025 sebesar 12% pun menjadi salah satu faktor penting perlunya peninjauan kembali adanya kebijakan kenaikan tarif CHT. Jika adanya kenaikan tarif CHT yang berimbas pada kenaikan HJE rokok serta tarif PPN secara bersamaan, maka harga rokok legal akan lebih tinggi dibandingkan dengan rokok ilegal yang akan memperbesar potensi down trading.
Berita baiknya, di tahun 2025 pemerintah tidak jadi memberlakukan kenaikan tarif CHT. Untuk melindungi kondisi pasar rokok legal serta melindungi kelangsungan industri rokok yang sedang dalam masa pemulihan karena banyaknya konsumen yang beralih pada rokok yang lebih murah atau ilegal sebagai efek dari down trading (Kurniawan, 2024).
Terkait HJE rokok, pemerintah sedang merumuskan pengaturannya untuk memberikan kepastian baik pada konsumen maupun pada pelaku usaha. Kebijakan ini diharapkan mampu menekan konsumsi rokok pada masyarakat secara perlahan dan tetap menjaga penerimaan negara. Tentunya untuk mendorong keseimbangan fungsi regulerend dan fungsi budgetair.
Penulis: Nurul Ayu Srikanti, Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia