Beranda Daerah Pegiat Budaya Kesenian Kebumen Tolak Klientelisme Tuntut Demokrasi Representatif

Pegiat Budaya Kesenian Kebumen Tolak Klientelisme Tuntut Demokrasi Representatif

Pegiat Kesenian Kabupaten Kebumen menggelar diskusi santai untuk menyikapi polemik dan keresahan para pegiat kesenian kuda lumping, Senin (18/11/2024). (Foto : Dok Pegiat Kesenian Kebumen)

Kebumen, Jatengnews.id – Pegiat Kesenian Kabupaten Kebumen menggelar diskusi santai untuk menyikapi polemik dan keresahan para pegiat kesenian kuda lumping di Kebumen, Senin (18/11/2024).

Adapun mereka menyuarakan keresahan pegiat seni terkait kondisi kelompok seni yang hanya dimanfaatkan dalam pesta demokrasi namun setelah pesta demokrasi selesai kembali termarjinalkan.

Raden Bagus Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama Pegiat Seni Budaya Kebumen Selatan menjelaskan pentingnya ketegasan pemerintah dalam melindungi pekerja seni, baik dari segi fasilitas maupun aturan. Diskusi juga membahas bagaimana nasib kelompok seni kecil di desa-desa harus diperjuangkan agar bisa mengakses dana abadi kebudayaan dari kementerian.

Baca juga : Sudah Kecanduan Sabu Kecanduan Judi Online Pula, Warga Kebumen Terancam 12 Tahun Bui

“Sebagai pegiat seni yang bergerak bersama dari wilayah marginal, saya menyadari adanya ketidakadilan akses untuk kelompok kesenian, seperti belum adanya fasilitas gamelan pendukung, seragam atau yang lain, ini menurut saya menunjukan bahwa pegiat seni tidak boleh apolitis, harus mencari akses politik untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya”, katanya.

Rahmat Widyantoro salah satu pegiat seni kuda lumping mengatakan, bahwa kelompok kesenian miliknya belum memiliki fasilitas gamelan, jadi honor kesenian yang diterimanya harus dipotong sewa fasilitas, seperti sewa gamelan, sewa kendaraan, dan sewa kostum.

Kondisi tersebut bisa mengakibatkan terpuruknya kelompok seni dan budaya. Kondisi seperti ini juga kurang bagus dan dianggap bertentangan dengan pesan SISKSS Pakoeboewono X yang mengatakan bahwa “Rum kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya”  yang berarti harum atau tingginya derajat sebuah bangsa terletak di kebudayaannya.

Dalam Diskusi ini juga dibahas bagaimana Aksesibilitas Kesenian masih sangat terbatas dan rendahnya demokrasi representatif terhadap kelompok seni menjadikan praktik democracy backsliding semakin marak di aras lokal utamanya saat Pilkada. Berbagai keluhan pun disampaikan oleh para pesera diskusi dengan mengutarakan keluh kesah yang disampaikan dalam diskusi.

Hal tersebut terlihat dari minimnya Representasi Pekerja Seni Dalam Proses Demokrasi dan Maraknya Gimmick Politik

Keterbatasan fasilitas kesenian seperti alat musik gamelan sebagai sarana penunjang dalam pertunjukan seni masih belum dipunyai oleh banyak kelompok seni menjadi kendala utama. Begitu pula terkait kostum atau seragam kesenian, banyak pegiat seni lama yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian dari segi akses fasilitas.

“Semestinya pemerintah memperhatikan kebutuhan para pegiat kesenian, di kami masih banyak yang belum memiliki seragam, gamelan, giliran minta bantuan diputar-putar dan sulit, kami membutuhkan perhatian khusus, jadi jangan hanya pencitraan ngopeni saja, melainkan membutuhkan aksi nyata berupa program”, Ujar Rahmat.

Pada dasarnya kelompok seni juga membutuhkan akses politik yang aspiratif berupa kebijakan yang pro terhadap pekerja kesenian bisa melalui reses atau serap aspirasi, bantuan desa atau bahkan banprov dari gubernur. Namun banyak akses tertutup karena pada akhirnya yang diberikan kemudahan dalam mengakses bantuan hanya kalangan istimewa . Di samping itu, inkonsistensi pemerintah dan ruang semu aspirasi dari pegiat seni semakin tinggi.

“Ya pemerintah harus bisa memperhatikan kita, kita kalau ada pertunjukan seni secara tidak langsung juga menumbuhkan UMKM, tapi giliran kita butuh bantuan responnya kurang untuk kesenian, padahal bantuan pemerintah  biar bisa memangkas biaya sewa dan lain-lain, jadi pemimpin harus pro terhadap rakyatnya, bukan terhadap bos bosnya, seperti diketahui bahwa saat ini Pilkada saja ada presiden dan mantan presiden berpihak ke salah satu paslon, nanti kalo sudah jadi tidak memperhatikan keinginan rakyat tapi malah menuruti atasannya,” ujar Eti.

Terkait isu klientelisme juga menjadi hal yang menakutkan, pasalnya praktik buruk dalam berdemokrasi ini bisa berdampak ke masyarakat bawah. Upaya klientelistik seperti pemberian bantuan hanya kepada para pendukungnya tidak mengutamakan masyarakat umum juga bisa merusak demokrasi. Dalam hal ini, pekerja seni yang tidak mengakses bantuan fisik atau nonfisik sebagai penunjang kegiatan industri kreatif seni mereka sulit untuk meregenerasi karena untuk latihan saja dan meregenerasi mereka harus sewa alat yang cukup mahal nominalnya.

Mestinya para pemimpin kepala Daerah  memperhatikan generasi-generasi milenial dan gen z agar lebih cinta budaya dan kesenian di daerahnya khususnya di Jawa Tengah dengan memberikan akses babtuan ke semua pekerja seni yang belum memiliki fasilitas pendukung. Hal ini bisa menjadi ajang untuk pelestarian dan regenerasi kebudayaan lokal agar lebih mengakar dan terdistribusi core values nya secara menyeluruh.

Jika dalam pemberian bantuan ke kelompok seni mengedepankan klientelisme politik, bisa jadi  gen z dan beberapa milenial malah tergerus arus westernisasi dan gadget akibat dari praktik patologi demokrasi bernama klientilisme politik sehingga hal tersebut berpotensi memarginalisasi kegiatan kesenian dan kebudayaan.

“Harapannya pemerintah perhatian ke generasi muda, di kelompok kami belum memiliki alat kesenian, jadi yang diberikan bantuan jangan itu itu saja agar kesenian dan kebudayaan tetap lestari, apalagi ini mau Pilkada, jangan hanya menjanjikan tapi dirangkul pegiat seni dan budayanya khususnya yang anak muda”, tambah Andre.

Dalam diskusi tersebut menghasilkan konsensus, bahwa sebagai pegiat seni dan budaya membutuhkan perhatian khusus dari pimpinan daerah agar tetap lestari dan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. Hal itu dapat dimulai melalui pengawalan yang serius terhadap Pilkada Jawa Tengah mendatang.

Baca juga : Tanah Longsor dan Banjir Landa Kebumen, Ibu dan Balita Masih dalam Pencarian

“Pemilu yang adil dan bersih adalah awal bagi demokrasi yang representatif. Kami mengharapkan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai demorkasi, bukan sekadar populisme, klienteisme, dan gimik. Oleh karena itu, kami menganggap penting untuk bersama-sama mengawal dan memilih dengan akal sehat dan hati,” katanya. (03)

Exit mobile version