POLITIK uang dalam Pilkada di Indonesia telah menjadi salah satu masalah mendasar yang merusak kualitas demokrasi lokal.
Praktik ini melibatkan pemberian uang atau hadiah lainnya kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan mereka. Meskipun peraturan hukum melarang praktik politik uang, fenomena ini tetap berlangsung secara sistematis dan meluas di banyak daerah.
Politik uang tidak hanya merusak esensi demokrasi, tetapi juga menciptakan siklus korupsi yang memperparah tata kelola pemerintahan di tingkat lokal.
Salah satu faktor utama adalah tingginya tingkat kemiskinan di banyak daerah di Indonesia. Studi dari Aspinall dan Berenschot (2019) dalam buku Democracy for Sale menyatakan bahwa politik uang lebih sering terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi.
Pemilih yang berada dalam kondisi ekonomi rentan cenderung lebih mudah menerima uang sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu, karena imbalan tersebut dianggap sebagai bentuk bantuan finansial langsung yang sangat dibutuhkan.
Baca juga: Peta Politik Pilgub Jateng, Paslon 2 Potensi Menang Tipis, Tapi Masih Punya PR
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya demokrasi dan pemilu yang jujur juga menjadi penyebab utama mengapa politik uang terus berlangsung. Banyak pemilih tidak memahami dampak jangka panjang dari politik uang terhadap kualitas kepemimpinan dan pemerintahan di daerah. Tanpa pendidikan politik yang memadai, masyarakat akan cenderung memilih berdasarkan keuntungan langsung yang mereka terima.
Struktur sosial masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh hubungan patron-klien. Seorang kandidat atau pemimpin lokal sering kali memposisikan diri sebagai “patron” yang memberikan manfaat finansial kepada pendukungnya.
Dalam sistem seperti ini, politik uang dianggap sebagai bagian dari hubungan timbal balik, di mana pemilih merasa berhutang budi kepada kandidat yang memberikan bantuan keuangan. Menurut Hadiz (2010), patronase dan politik uang merupakan bagian dari mekanisme mobilisasi politik di tingkat lokal, yang berakar dalam budaya politik Indonesia.
Modus Operandi
Politik uang dalam Pilkada dapat dilakukan dengan berbagai modus operandi, mulai dari pemberian uang secara langsung hingga penggunaan sumber daya negara untuk memobilisasi dukungan.
Salah satu modus paling umum adalah “serangan fajar”, di mana tim sukses calon membagikan uang kepada pemilih pada malam sebelum pemungutan suara atau pada pagi hari di hari pemilihan. Cara ini dilakukan dengan harapan bahwa imbalan yang diberikan akan memengaruhi keputusan pemilih di bilik suara.
Beberapa calon juga memanfaatkan program-program bantuan sosial yang didanai oleh pemerintah daerah untuk menggalang dukungan. Mereka mendistribusikan bantuan kepada warga dengan harapan mereka akan memberikan dukungan dalam Pilkada. Ini sering kali dilakukan di luar pengawasan resmi.
Selain uang tunai, calon juga sering memberikan hadiah atau sembako kepada masyarakat sebagai bentuk “bantuan” yang terselubung. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati pemilih, khususnya di wilayah pedesaan yang lebih terpencil.
Kandidat petahana atau yang memiliki pengaruh di pemerintahan daerah sering memanfaatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau sumber daya birokrasi untuk menggalang dukungan. Mereka memobilisasi ASN untuk memenangkan Pilkada melalui penggunaan anggaran daerah atau fasilitas negara.
Sikap Permisif Masyarakat
Sikap permisif masyarakat terhadap politik uang dalam Pilkada dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain kebutuhan ekonomi, budaya patronase dan kepercayaan yang rendah terhadap proses demokrasi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, banyak pemilih yang hidup di bawah garis kemiskinan cenderung menganggap politik uang sebagai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan finansial jangka pendek. Bagi mereka, uang yang diterima dari kandidat merupakan bentuk “bantuan langsung” yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam banyak kasus, masyarakat tidak menganggap politik uang sebagai sesuatu yang salah. Mereka melihatnya sebagai bagian dari budaya patron-klien di mana pemimpin (patron) berkewajiban memberikan bantuan kepada rakyatnya (klien). Sebagai balasan, klien merasa berkewajiban memberikan dukungan politik kepada sang patron.
Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap proses politik dan demokrasi juga berkontribusi pada sikap permisif terhadap politik uang. Banyak pemilih merasa bahwa suara mereka tidak akan berdampak signifikan pada perubahan kebijakan atau perbaikan kondisi hidup mereka, sehingga menerima uang dianggap sebagai kompensasi yang wajar.
Meskipun sudah ada undang-undang yang melarang politik uang, penegakan hukum terhadap praktik ini masih lemah. Beberapa alasan yang menjelaskan mengapa aparat hukum dan penyelenggara Pilkada (seperti Bawaslu) belum mampu menindak secara efektif pelaku politik uang.
Politik uang sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan sulit untuk dibuktikan di pengadilan. Modus operandi seperti serangan fajar dan pembagian uang tunai sering melibatkan transaksi langsung yang tidak meninggalkan jejak yang jelas.
Bawaslu, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi Pilkada, memiliki keterbatasan sumber daya dalam memantau seluruh wilayah di Indonesia yang sangat luas. Dengan keterbatasan personel dan teknologi, sulit bagi mereka untuk mengawasi setiap bentuk pelanggaran.
Baca juga: Pengamat Politik Nilai KPU Tak Bisa Tolak Berkas Pencalonan Dico-Ali di Pilkada Kendal
Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum dan lembaga penyelenggara Pilkada di tingkat daerah bisa saja terpengaruh oleh kandidat kuat yang memiliki pengaruh politik atau finansial besar. Hal ini memperlemah penegakan hukum yang seharusnya dilakukan secara tegas dan independen.
Pilkada tanpa Politik Uang
Untuk menghapuskan politik uang dalam Pilkada, beberapa langkah reformasi perlu diambil, pertama, masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang lebih baik agar memahami dampak jangka panjang dari politik uang. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran pemilih tentang pentingnya memilih berdasarkan program dan kualitas kandidat, bukan berdasarkan imbalan jangka pendek.
Kedua, aturan terkait pendanaan kampanye perlu diperketat untuk memastikan bahwa sumber dana kampanye transparan dan legal. Setiap pengeluaran kampanye harus dilaporkan dan diaudit oleh lembaga independen. Hukuman yang lebih berat juga harus diterapkan bagi kandidat yang melanggar aturan ini.
Ketiga, Bawaslu harus diberikan kewenangan dan sumber daya yang lebih besar untuk mengawasi praktik politik uang secara lebih efektif. Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pengawasan digital, dapat membantu memperluas cakupan pengawasan mereka.
Keempat, hukuman bagi pelaku politik uang harus diperberat untuk memberikan efek jera. Kandidat yang terbukti melakukan politik uang harus didiskualifikasi dari Pilkada dan dikenakan hukuman pidana.
Kelima, media dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan penting dalam mengungkap dan mempublikasikan kasus-kasus politik uang. Laporan investigatif dari media independen bisa menjadi tekanan publik yang efektif untuk mendorong penegakan hukum yang lebih baik.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Pilkada di Indonesia dapat berlangsung secara jujur, adil, dan tanpa politik uang. (01)
Penulis: Nur Syamsudin (Peneliti C-Polsis Semarang, Dosen Fisip UIN Semarang)