Kendal, JatengNews.id – Batik khas Tlasih-Tobong dikenalkan ke publik dalam gelaran Karnaval Budaya Desa Meteseh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, Minggu 18 Agustus 2024.
Karnaval budaya bertema “Merajut Desa Berkarya dan Berdaya” ini diselenggarakan Karang Taruna Padmanaba Drusila, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Abyudaya Desa Meteseh, dan Pemdes Meteseh.
Dari pantauan, dua motif kain batik “Tlasih-Tobong” mengawali rombongan arak-arakan karnaval di sepanjang Jalan Lamerding, Dusun Krajan Tengah, Krajan Timur, Teseh, Jalan Tulang Bawang, hingga Rowosari.
Baca juga: Majukan Desa Wisata, Warga Jatirejo Gunungpati Meriahkan Karnawal Kemerdekaan HUT RI
Ketua Pokdarwis Desa Meteseh, Heri Condro Santoso, gagasan membuat batik khas dengan identitas desa muncul setelah sebelumnya, mereka menginisiasi logo desa melalui sayembara.
Bersama Sekretaris Pokdarwis yang juga pengrajin batik, Imroatun Jamila, kemudian mencoba mewujudkan batik ini. Nama batik “Tlasih-Tobong” dipilih karena dua kata ini mewakili kekhasan, sejarah, dan identitas Desa Meteseh.
“Dua nama ini sebagai bagian dari ikhtiar kami untuk memantik kesadaran budaya agar kita—manusia tak lupa pada akar sejarah,” ujar Heri melalui keterangan tertulis yang diterima JatengNews.id, Senin 19 Agustus 2024.
Nama tlasih atau nama lainnya, tlaseh, selasih, basil, atau basilikum (Ocimum), terinspirasi dari sejarah nama desa meteseh yang diciptakan oleh Kyai Dapi atau Mbah Daliyah Dapi–orang pertama yang datang dan bermukim (bubak yoso) Desa Meteseh. Konon, dahulu beliau memasuki kawasan hutan atau kopen (dalam bahasa Jawa) yang didalamnya banyak tumbuhan kelapa, kopi, dan tanaman lainnya.
Kawasan itu tak terawat dan tak ada penghuninya karena tak ada orang yang berani tinggal. Singkat cerita, orang pertama yang berani bermukin di situ adalah Kyai Dapi. Kemudian, setelah itu, sedikit demi sedikit, orang lain pun berani, hingga menjadi sekelompok hunian dan menjadi seperti wilayah desa.
“Kyai Dapi menjumpai di kawasan itu banyak tanaman/kembang tlasih atau telaseh. Maka, kemudian daerah itu, diberi nama Meteseh,” jelas Heri.
Sementara itu, nama tobong, diambil dengan pertimbangan Meteseh dikenal sebagai salah satu daerah sentra kerajinan genteng dengan “brand” Genteng Mantili. Bisa dikatakan, sejak era tahun 1970-an, genteng menjadi ciri khas Meteseh—meski kini, lambat laun semakin meredup. Tobong merupakan sarana pembakaran tanah liat yang sudah dicetak (dipress) hingga menjadi genteng.
“Tobong tidak hanya sarana pembakaran. Di sana menyimpan makna filosofis, di balik pembuatan genteng, ada proses panjang-dan pada proses akhir ada pembakaran. Bisa dimaknai, dalam konteks kehidupan, sebelum menjadi manusia seutuhnya, manusia akan melewati beragam proses. Beragam proses itu akan membuat manusia matang. Berbagai halangan, rintangan, masalah, yang dihadapi pada akhirnya membawa kita pada hasil yang diharapkan,” tutur pegiat Komunitas Lerengmedini (KLM) ini.
Baca juga: Tampilkan Beragam Kreatifitas Ribuan Siswa Antusias Ikuti Karnaval di Demak
Heri berharap, adanya ikon batik khas Meteseh “Tlasih-Tobong”, bisa menjadi spirit/semangat bersama segenap elemen masyarakat, organisasi perangkat desa, anak muda, kaum tua, lelaki-perempuan, untuk saling bahu-membahu, saling nyengkuyung untuk mewujudkan desa yang berdaya. “Jika semua guyub, kompak, sama-sama memiliki niat baik untuk membangun desa, majunya desa hanya menunggu waktu. Semua bergantung dari kita,” harap Heri.
Kepala Desa Meteseh Sisyanto, menyambut baik inisiatif dari Karang Taruna dan Pokdarwis ini. Ia berharap, warga bisa membeli dan bangga mengenakannya. Selain batik adalah warisan budaya, dengan memiliki motif khas desa, tentunya ini, menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga.
“Saya berharap, ini menjadi semangat baik bagi segenap komponen masyarakat untuk bersama-sama bangga dan memajukan Desa,” kata Sisyanto. (01)